Meeong meong. .
Dari balik jendela kaca kulihat hewan mungil itu sedang mengendus debu halus di halaman belakang rumah.
" hai pus, pus pus sini "
Aku membuka pintu dan memanggilnya sembari mengayunkan sedikit daging untuknya.
Tak mau mendekat. Kenapa ? Akhirnya aku yang mendekat.
Kepalanya mendesak ke tanganku. Tanda minta dielus.
Kuberikan daging itu dekat dengan hidungnya. Ah, tak mau makan. kenapa ? aku mengelus-elus kepalanya.
"pus, ini dimakan. kenapa sih kok ga mau makan ?"
Meoong . .
Hai tuanku . .
Taukah kau bahwa aku lapar ?
Taukah kau bahwa aku tidak suka dengan daging yang kau bawa ?
Taukah kau bahwa daging yang kau bawa tidak berbau daging?
Taukah kau bahwa aku merasa ada sesuatu yang salah dengan hidungku ?
Hai tuanku dapatkah kau mendengar suaraku ?
Hai tuanku kenapa engaku tak juga menjawab pertanyaanku ?
Hai tuanku kenapa engkau berhenti mengelusku ?
Maafkan aku tuanku, aku telah membuatmu kesal.
Aku beranjak dari hadapan kucing itu. Menutup pintu sehingga ia tidak bisa masuk kedalam rumah.
Aku mengintip dari balik jendela kaca berharap ia akan memakannya. Mata bulat itu menuju kearah jendela kaca. Kearah ku. Kasihan. Ah . .
Kubuka pintu itu, dan kupersilahkan ia masuk.
Adzan maghrib pun tiba, aku segera mengambil air wudhu. Kemudian ku sapukan handuk ke mukaku.
"Liat itu kucingnya, kasian", kata bapak.
"Kenapa?"
"Itu masih kecil udah pisah sama ibunya"
"Bapak, tadi kucingnya nggak mau makan. Jangan jangan gara gara debu merapinya. Tadi nyium nyium debu jadi hidungnya mulai ga peka"
"Masa ? kemaren masih mau makan kok. besok coba diperiksain"
Pandanganku langsung tertuju pada hewan mungil itu. Aku berfikir, betapa kasihannya ia telah pisah dari ibunya, betapa jahatnya aku yang telah memisahkan mereka.
Ah . .
Dalam shalatku pun, aku tidak bisa khusyuk. Terbayang kata 'kasihan' pada kucing itu.
Selesai shalat, aku mengeluarkan bola kecil yang didalamnya terdapat bulu bulu halus. Ku lemparkan padanya, ia berlari mengejar, terlihat begitu lincah. Ia mendorong bola itu sembari berlari kencang bahkan hingga jungkir balik.
"Apa kau merasa senang?", pikirku. Aku masih teringkat kata 'kasihan'.
Sembari bermain dengannya aku semakin berfikir,
Apa kau bisa berbicara ?
Apa kau bisa mengerti ucapanku ?
Apa kau merasa senang jika kuelus ?
Apa kau senang saat aku mengajakmu bermain ?
Apa kau merasa senang kau dipindahkan kerumahku ?
Apa kau merasa sedih karna aku telah memisahkanmu dengan ibumu ?
Apa kau merasa sedih jika kututup pintu belakang yang berarti kita telah selesai bermain?
Apa kau merasa sedih saat kau sendiri di kamar belakang ?
Hey, bukankah kau seharian ini hanya makan sedikit ?
Kenapa kau tidak makan dengan makanan yang telah aku berikan ?
Apakah hidungmu bermasalah ? Itu makanan seperti biasa yang biasanya kau makan.
Mataku sedikit berkaca kaca, ku angkat ia dekat dengan wajahku, kutatap mata hitam-bundar itu.
"apa kau bisa merasakan?"
No comments:
Post a Comment